jarang jarang ku tulis puisi tentang cinta, sebab rasanya masih asing untuk memahami kenyataan yang masih buram aku pandang.
‘cinta itu buta’ ucap kebanyakan orang, karna memang nyatanya cinta tak bisa ku lihat sebelah mata karena yang merasakan adalah hati yang tak pernah melihat karena mata yang terus terbuka.
jika ku tanyakan lagi apakah ini cinta, pikiranku selalu menolak, namun hati terus meminta kejujuran dari mulutku untuk percaya.
sekali lagi ku tanyakan pada diriku apakah rasa ini nyata?
tak pernah lagi kutulis puisi tentang cinta, karena dari banyaknya aksara dalam puisi yang kutulis semenarik itu masih belum bisa kutemukan kalimat akhir yang cocok untuk menggambarkan kisah cintaku , sebab, rasa cinta ini tak pernah berakhir dengan nyata, lalu apa yang akan ku tulis sebagai akhir kalimat?
kalau harapan dari puisi cinta yang ku tulis adalah puisi sang mentari yang mendambakan bulan untuk bertemu bersama, atau sang putri yang akhirnya dikejar kembali pengorbanan nya oleng sang pangeran, mungkin bukan itu yang akan ku tulis.
puisi ku lebih cocok kau baca dalam lampu temaram saat sore atau malam hari, sebab mungkin luka yang susana berikan bisa memelukmu hangat, sebab sunyi yang mencekam menjadi teman syair per bait puisi yang ku tulis.
mungkin tak semua orang merasakan lukanya, tapi mungkin ada seseorang yang mengalami luka yang sama, mungkin butuh obat yang sama, maka aku bagikan lewat tulisan.
perih tapi setidaknya tulisan menjadi obat terbaik saat semua orang tak paham akan apa yang kamu rasakan.
“itu puisi luka!”
“tidak, ini kisah puisi cinta nyataku”
lalu kalau ada yang mengelak lagi mungkin dia tidak masuk dalam kategori kisahku.